25.7 C
Jayapura
Friday, 24 March 2023

Uskup Mandagi  dan Harapan Orang Papua

SETELAH menunggu sekira setahun, akhirnya Keuskupan Agung Merauke secara resmi memiliki uskup baru (definitif) yang dipilih Paus Fransiskus, yakni Monsigneur (Mgr) Petrus Canisius Mandagi MSC. Namun, banyak umat Katolik di Tanah Papua, terlebih khusus di wilayah kerja Keuskupan Agung Merauke (KAME) tentu menanti langkah-langkah spektakuler apa yang dilakukan Uskup Mandagi, terutama misi pewartaan dan suara-suara kenabiaan atas persoalan sosial kemanusiaan yang terus meliputi masyarakat Papua.

Uskup Mandagi yang sebelumnya adalah Uskup Keuskupan Ambonia-Maluku sejak 27 April 1994, juga Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke sejak 7 Agustus 2019 setelah Vatikan menerima pengunduran diri Mgr Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai Uskup Agung KAME itu secara resmi menjadi Uskup KAME terhitung 11 November 2020 berdasarkan Surat  Nuncio Apostolik 11 November 2020 nomor 1962/2020. Esensi dari surat tersebut adalah perihal penugasan pemberitahuan kabar sukacita. Jadi, di saat yang sama, Uskup Mandagi ditetapkan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Ambonia hingga Vatikan menunjuk penggantinya untuk mengduduki takhta yang lowong (sede vacante) di Ambonia.

Pada prinsipnya, Mandagi ditunjuk Vatikan sebagai Adminisitrator Apostolik adalah memerintah atas nama Paus dan kewenangangannya tidak sama dengan Uskup Diosesan. Ia bertindak sejauh mewakili Bapa Suci pada takhta yang kosong (sede vacante). Jadi, kini Mandagi resmi sebagai Uskup KAME, maka ia sebagai Uskup Diosesan yang baru akan bertindak atas nama sendiri dan tidak lagi seperti Administrator Apostolik yang bertindak atas nama Paus.

Mandagi yang merupakan alumnus Seminari Pineleng, Manado, Sulawesi Utara 1968-1975 dan menyabet gelar MA dari Universitas Katolik Leuven Belgia pada bidang Religious Studies tahun 1979 serta lisensiat dalam bidang Teologi Dogmatik tahun 1981 ini adalah Uskup Agung keempat Keuskupan Agung Merauke. Ia menjadi uskup keempat dari ketiga uskup terdahulu, yakni uskup pertama mendiang Mgr Herman Tillemans MSC (1961-1972), almarhum Mgr Jacobus Duivenvoorde MSC (1972-2004), dan pada 7  April 2014, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai imam pribumi (Indonesia) pertama menjadi Uskup Keuskupan Agung  Merauke (2004-2020).

Selain itu, kiprah Uskup Mandagi dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kemanusiaan tentu tak diragukan lagi. Berbagai zig-zag persoalan sosial dan krisis kemanusiaan banyak telah dilaluinya. Tentu bagi Mandagi, semua jalan Tuhan itu baik, termasuk jalan salib. Selama 26 tahun, Mandagi menjadi Uskup Keuskupan Ambonia, ia dikenal sebagai tokoh yang dihormati dan tokoh perdamaian di Provinsi Maluku, karena ia secara konsisten memperjuangkan kerukunan, toleransi, persaudaraan sejati, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua pihak.

Salah satu jasa perjuangan Mandagi untuk perdamaian dan kemanusiaan adalah ketika meletusnya konflik sosial bernuansa agama yang ‘memporakporanda’ Provinsi Maluku tahun 1999. Mandagi sebagai salah satu tokoh yang ikut memadamkan bara konflik sosial yang berkecamuk dua dekade lalu itu. Meski populasi umat Katolik di Maluku tak lebih dari 10 persen, suara uskup kelahiran Minahasa 27 April 1949  itu sangat didengar di sana. Jadi Mandagi dianggap oleh banyak kalangan di Maluku sebagai “Bapak” orang Maluku.

Jelas, perjuangan Mandagi demi keadilan, perdamaiaan, dan persaudaraan sejati merupakan nilai kemanusiaan yang sangat fundamental. Ia menerjemahkan arti ajaran cinta kasih gereja dalam kehidupan nyata atau proses perjuangan sosial kemanusiaan. Dalam pandangan Mandagi, semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh dan diciptakan sama oleh Sang Pengada yang tak diadakan, yakni Allah.

Dan Allah meniciptakan manusia itu secitra dengan-Nya. Karenanya, manusia itu layak dihormati, dilindungi, dan diberdayakan kemanusiaannya. Tidak ada alasan apapun, termasuk alasan kepentingan suku, agama, golongan, jabatan, maupun kepentingan negara dan hukum, manusia yang satu harus menjadi musuh bagi manusia lain atau meminjam perspektif Thomas Hobbes (1588-179), filsuf empirisme Inggris: “Homo homini lupus est” (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain) atau “..bellum omnium ontra omnes” (perang semua, lawan semua). Jadi, tindakan apapun yang merendahkan martabat kemanusiaan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan. Sebaliknya perlakukan sesama manusia lain lain layaknya kita ingin diperlakukan.

Setelah kerusuhan sosial di Maluku yang menelan banyak korban nyawa, berbagai pihak bertanya apa alasan  kerterlibatan Mandagi dalam proses perdamaian tersebut. Mandagi bahkan menjawab bahwa ia memperjuangkan kepentingan kemanusiaan, bukan kepentingan ke-Kristenan atau ke-Katolikan. Mandagi telah berlayar di atas semua kepentingan menjadi tiang api moral bagi semua orang di Maluku. Ia bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama lain, dan pemerintah di Maluku berhasil membawa Maluku kembali menemukan jalan perdamaian dan rekonsiliasi permanen.

Kini masyarakat Maluku menikmati buah perdamaian yang telah ‘diciptakan’ Uskup Mandagi dan para tokoh Maluku lainnya. ”Oke kita sudah berkelahi, kita sudah bertengkar, tetapi marilah kita saling mengampuni,” kata  Mandagi, Hidup Katolik.com, (16/3/2018). Mgr Mandagi berprinsip bahwa pengampunan merupakan sumber persaudaraan sejati. Karena persaudaraan sejati itulah Mandagi tak henti-hentinya meneriakkan sikap hormat kepada sesama manusia, termasuk membuka proses dialog untuk mencari jalan damai atas konflik yang telah terjadi.

Mandagi sering mengingat kata-kata Martin Luther King Jr (1929-1968), seorang teolog dan aktivis kemanusiaan terkenal abad ke-20 berkebangsaan Amerika: “Lawan bisa diubah menjadi kawan hanya dengan kasih dan pengampunan”. Bagi Mandagi kedamaian itu bisa hadir kalau ada kasih sayang dan pengampunan.

Realitas Persoalan Papua

Papua, terlebih khusus wilayah Keuskupan Agung Merauke juga merupakan negeri yang berselimut masalah, terutama terjadi proses pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga sengaja dilakukan (by commission) maupun sengaja dibiarkan (by ommision) oleh negara. Pelanggaran HAM yang terjadi sangat variatif, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, termasuk kekerasaan militer.

Dan, tentu Uskup Mandagi telah mengetahui banyak fenomena sosial kemanusiaan orang Papua saat sebelumnya menjadi  Administrator Apostolik Keukupan Agung Merauke. Berbagai masalah itu antara lain, progam yang diusung pada tahun 2010, yakni pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke (MIFEE), pro dan kontra isu pemekaran Provinsi Papua Selatan, dan kekerasaan militer.

Untuk proyek MIFEE, pemerintah menggunakan dalih bahwa Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional. Hal tersebut  dipandang keliru atas terobosan yang dilakukan  pemerintah melalui proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar. Langkah pemerintah itu tidak membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Merauke dan Papua secara umum.

Bahkan dinilai kehadiran MIFEE sebagai bentuk anomali terhadap realitas kehidupan masyarakat asli yang sudah diwariskan secara turun temurun hidup dengan mengonsumsi makanan lokal, seperti sagu. Format transformasi lahan  untuk beroperasinya perusahaan MIFEE berpotensi mengancam keberadaan hutan sagu yang merupakan makanan pokok masyarakat lokal, juga identitas budaya orang Papua.

Misalnya, penelitian antropolog Australia, Sophie Chao—yang menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama Suku Marind Anim di Merauke—berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat. Menurut Sophie yang pada tahun 2019 mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari Asian Studies Association of Australia bahwa dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program MIFEE tehadap masyarakat setempat.

Jelas, proyek MIFEE sangat tidak berbenefit bagi masyarakat Merauke, tapi sebaliknya membawa malapetaka bagi penduduk asli. Yang terjadi adalah kehancuran ekosistem: kehilangan tanah, hutan, dan hewan-hewan endemik serta hewan buruan yang menjadi potensi dan sumber jaminan masa depan mereka.

Selain proyek MIFEE, isu pemekaran Provinsi Selatan yang kian mengkristal di tengah-tengah masyarakat Papua, juga menjadi problematis. Diduga, ide pemekaran sejatinya adalah proyek politik Jakarta yang merupakan rekomendasi dari hasil analisis Badan Intelejen Negara (BIN). Tujuan pemerintah pusat menambah provinsi baru di Tanah Papua, terutama rencana pemekaran Provinsi Selatan adalah langkah untuk meminimalisir  berbagai gerakan separatisme di Tanah Papua.

Dan, bila dikomparasikan situasi Papua kini, tidaklah relevan kalau dipaksakan untuk pemekaran provinsi demi kepentingan negara dengan menggunakan isu populisme, seperti pemekaran dapat menjawab akselerasi pembangunan dan memutus mata rantai kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat di selatan Papua. Padahal, aspirasi pemekaran harus bersifat buttom up (dari bawah ke atas), bukan top down (dari atas ke bawah). Jika ide pemakaran ini terus didorong (dipaksakan) oleh pemerintah pusat, maka sangat berbahaya bagi masa depan orang Papua, terutama bagi penduduk asli di Papua Selatan.

Karena pembangunan sumber daya manusia (SDM) di wilayah selatan Papua tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Tanah Papua yang belum begitu maju. Hingga terjadi pemekaran provinsi nanti hanya akan membuka lahan atau ekspansi bagi para migran baru dari luar Papua untuk berduyun-duyun datang ‘menguasai’ Tanah Papua dan penduduk asli akan teralienasi. Hal ini terbukti dalam bidang politik praktis, yang mana jumlah anak asli Papua yang berhasil duduk di kursi DPRD Kabupaten Merauke untuk periode 2019-2024  hanya lima orang dari total 30 kursi dan tiga di antaranya putra asli Marind.

Bahkan, pemekaran juga akan memberi legitimasi bagi negara untuk membuka Kodam dan Polda baru—dengan menambah pasukan TNI-Polri—yang makin masif. Para anggota TNI-Polri akan selalu mendukung apapun yang menjadi arah dan kebijakan negara, baik  perusahaan atau investor yang hendak masuk beroperasi di daerah tersebut. Jika masyarakat asli menyoal tentang hak-hak tanahnya yang dirampas oleh perusahaan, maka bisa saja oknum militer akan mengedepankan tindakan represif dan brutal: masyarakat akan ditindas, dipukul, atau dibunuh.

Sudah banyak kekerasaan yang dilakukan oleh oknum militer Indonesia terhadap masyarakat asli Papua, termasuk di wilayah Papua Selatan. Kekerasaan itu dimulai dari penganiyaan, penembakan, hingga pembunuhan yang kerapkali dilakukan oknum anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia (TNI-Polri) di luar proses hukum.

Salah satu contoh dari sekian banyak tindak kekerasaan  terhadap warga sipil di selatan Papua adalah pemukulan yang diduga dilakukan oleh oknum polisi terhadap Marius Betera, seorang warga di perkebunan sawit di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, 16 Mei 2020. Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, Marius meninggal”. (Kompas, 11 November 2020).

Kasus penganiayaan terhadap Marius Betera ini, termasuk sejumlah kasus HAM lain telah didampingi atau mendapat advokasi dari Uskup Mandagi semasa menjadi Administrator Keuskupan Agung Merauke. Dan, diharapkan agar kasus ini, termasuk semua kasus HAM lain terus menjadi perhatian serius Keuskupan Agung Merauke.

Selain Merauke, harapan penting juga agar kasus tertembak  mati Rufinus Tigau, seorang katekis Gereja Katolik Roma di Stasi Jalae, Paroki Michaelel Bilogai, Keuskupan Timika yang diduga dilakukan oleh tim gabungan TNI-Polri juga harus disuarakan. Sebelumnya, 7 Oktober 2020, diduga prajurit TNI menembak luka berat Agustinus Duwitau, seorang katekis dari Stasi Emondi, Keuskupan Timika.

Dua kasus ini butuh perhatian serius oleh hierarki Gereja Katolik, baik Uskup Keuskupan Agung Merauke bersama empat Uskup Keuskupan Sufragan di Tanah Papua, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), termasuk Vatikan harus bersikap kritis dan bersuara. Hierarki Gereja Katolik harus mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera bertnggungjawab secara hukum dengan mengadili pelaku penembakan. Langkah ini dilakukan demi perlindungan dan penghormatan terhadap para pelayan umat seperti katekis, pastor, maupun pendeta, sekaligus menjaga derajat gereja dari tindakan tak bermartabat oleh oknum prajurit TNI dan  Polri.

Orang Papua tentu optimistis terhadap ekistensi Mandagi sebagai Uskup Keuskupan Agung Merauke yang baru. Mereka yakin bahwa dengan sederet pengalaman dan rekam jejak (track record) yang cukup panjang dan luar biasa, Mandagi akan membawa angin segar bagi umat Katolik di KAME dalam bidang pewartaan dan juga pada dimensi kemanusiaan orang Papua secara umum. Sebab semasa Mandagi menjadi Administrator KAME umat Katolik dan masyarakat Papua secara umum telah mendengar pekikkan suara kenabian untuk kemanusiaan di Tanah Papua. Misalnya, Mandagi mengecam tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, 16 Agustus 2019, yang menurutnya sebagai pelanggaran HAM berat. Mandagi telah menjadi orang yang bersuara untuk kaum tak bersuara (voice of the voiceless).

Apalagi Ketua Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Perantau KWI (2003-2009) itu kini menjadi uskup definitif, tentu suaranya makin nyaring didengar di mana-mana, di seluruh pelosok negeri, bahkan didengar juga di jalan-jalan menuju Istana Gandolfo—tempat peristirahatan Sri Paus pada “musim panas”, di Vatikan, Roma—yang dirancang oleh Carlo Maderno (1556-1629), seorang arsitek berkebangsaan Italia di Abad Pertengahan.

Dan, tentu orang Papua akan merasa kehadiran Mandagi di tengah mereka seperti Maria mengunjungi Elisabet  saudaranya. Papua saat ini memang butuh orang-orang Samaria yang baik hati, dengan semangat dan prinsip cinta kasih yang besar, seperti yang pernah dilakukan oleh Mgr. Mandagi saat menjadi Uskup Amboina 26 tahun lalu.  Proficiat  untuk  Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC sebagai Uskup Agung Merauke. “Nil Nisi Christum, tidak ada apapun selain Kristus”.(*)

*) Penulis adalah Aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.

SETELAH menunggu sekira setahun, akhirnya Keuskupan Agung Merauke secara resmi memiliki uskup baru (definitif) yang dipilih Paus Fransiskus, yakni Monsigneur (Mgr) Petrus Canisius Mandagi MSC. Namun, banyak umat Katolik di Tanah Papua, terlebih khusus di wilayah kerja Keuskupan Agung Merauke (KAME) tentu menanti langkah-langkah spektakuler apa yang dilakukan Uskup Mandagi, terutama misi pewartaan dan suara-suara kenabiaan atas persoalan sosial kemanusiaan yang terus meliputi masyarakat Papua.

Uskup Mandagi yang sebelumnya adalah Uskup Keuskupan Ambonia-Maluku sejak 27 April 1994, juga Administrator Apostolik Keuskupan Agung Merauke sejak 7 Agustus 2019 setelah Vatikan menerima pengunduran diri Mgr Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai Uskup Agung KAME itu secara resmi menjadi Uskup KAME terhitung 11 November 2020 berdasarkan Surat  Nuncio Apostolik 11 November 2020 nomor 1962/2020. Esensi dari surat tersebut adalah perihal penugasan pemberitahuan kabar sukacita. Jadi, di saat yang sama, Uskup Mandagi ditetapkan sebagai Administrator Apostolik Keuskupan Ambonia hingga Vatikan menunjuk penggantinya untuk mengduduki takhta yang lowong (sede vacante) di Ambonia.

Pada prinsipnya, Mandagi ditunjuk Vatikan sebagai Adminisitrator Apostolik adalah memerintah atas nama Paus dan kewenangangannya tidak sama dengan Uskup Diosesan. Ia bertindak sejauh mewakili Bapa Suci pada takhta yang kosong (sede vacante). Jadi, kini Mandagi resmi sebagai Uskup KAME, maka ia sebagai Uskup Diosesan yang baru akan bertindak atas nama sendiri dan tidak lagi seperti Administrator Apostolik yang bertindak atas nama Paus.

Mandagi yang merupakan alumnus Seminari Pineleng, Manado, Sulawesi Utara 1968-1975 dan menyabet gelar MA dari Universitas Katolik Leuven Belgia pada bidang Religious Studies tahun 1979 serta lisensiat dalam bidang Teologi Dogmatik tahun 1981 ini adalah Uskup Agung keempat Keuskupan Agung Merauke. Ia menjadi uskup keempat dari ketiga uskup terdahulu, yakni uskup pertama mendiang Mgr Herman Tillemans MSC (1961-1972), almarhum Mgr Jacobus Duivenvoorde MSC (1972-2004), dan pada 7  April 2014, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Nicolaus Adi Saputra MSC sebagai imam pribumi (Indonesia) pertama menjadi Uskup Keuskupan Agung  Merauke (2004-2020).

Selain itu, kiprah Uskup Mandagi dalam perjuangan menegakkan keadilan dan kemanusiaan tentu tak diragukan lagi. Berbagai zig-zag persoalan sosial dan krisis kemanusiaan banyak telah dilaluinya. Tentu bagi Mandagi, semua jalan Tuhan itu baik, termasuk jalan salib. Selama 26 tahun, Mandagi menjadi Uskup Keuskupan Ambonia, ia dikenal sebagai tokoh yang dihormati dan tokoh perdamaian di Provinsi Maluku, karena ia secara konsisten memperjuangkan kerukunan, toleransi, persaudaraan sejati, keadilan, dan kesejahteraan bagi semua pihak.

Salah satu jasa perjuangan Mandagi untuk perdamaian dan kemanusiaan adalah ketika meletusnya konflik sosial bernuansa agama yang ‘memporakporanda’ Provinsi Maluku tahun 1999. Mandagi sebagai salah satu tokoh yang ikut memadamkan bara konflik sosial yang berkecamuk dua dekade lalu itu. Meski populasi umat Katolik di Maluku tak lebih dari 10 persen, suara uskup kelahiran Minahasa 27 April 1949  itu sangat didengar di sana. Jadi Mandagi dianggap oleh banyak kalangan di Maluku sebagai “Bapak” orang Maluku.

Jelas, perjuangan Mandagi demi keadilan, perdamaiaan, dan persaudaraan sejati merupakan nilai kemanusiaan yang sangat fundamental. Ia menerjemahkan arti ajaran cinta kasih gereja dalam kehidupan nyata atau proses perjuangan sosial kemanusiaan. Dalam pandangan Mandagi, semua manusia adalah satu kesatuan yang utuh dan diciptakan sama oleh Sang Pengada yang tak diadakan, yakni Allah.

Dan Allah meniciptakan manusia itu secitra dengan-Nya. Karenanya, manusia itu layak dihormati, dilindungi, dan diberdayakan kemanusiaannya. Tidak ada alasan apapun, termasuk alasan kepentingan suku, agama, golongan, jabatan, maupun kepentingan negara dan hukum, manusia yang satu harus menjadi musuh bagi manusia lain atau meminjam perspektif Thomas Hobbes (1588-179), filsuf empirisme Inggris: “Homo homini lupus est” (manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lain) atau “..bellum omnium ontra omnes” (perang semua, lawan semua). Jadi, tindakan apapun yang merendahkan martabat kemanusiaan orang lain adalah hal yang tidak dibenarkan. Sebaliknya perlakukan sesama manusia lain lain layaknya kita ingin diperlakukan.

Setelah kerusuhan sosial di Maluku yang menelan banyak korban nyawa, berbagai pihak bertanya apa alasan  kerterlibatan Mandagi dalam proses perdamaian tersebut. Mandagi bahkan menjawab bahwa ia memperjuangkan kepentingan kemanusiaan, bukan kepentingan ke-Kristenan atau ke-Katolikan. Mandagi telah berlayar di atas semua kepentingan menjadi tiang api moral bagi semua orang di Maluku. Ia bersama sejumlah tokoh masyarakat, tokoh agama lain, dan pemerintah di Maluku berhasil membawa Maluku kembali menemukan jalan perdamaian dan rekonsiliasi permanen.

Kini masyarakat Maluku menikmati buah perdamaian yang telah ‘diciptakan’ Uskup Mandagi dan para tokoh Maluku lainnya. ”Oke kita sudah berkelahi, kita sudah bertengkar, tetapi marilah kita saling mengampuni,” kata  Mandagi, Hidup Katolik.com, (16/3/2018). Mgr Mandagi berprinsip bahwa pengampunan merupakan sumber persaudaraan sejati. Karena persaudaraan sejati itulah Mandagi tak henti-hentinya meneriakkan sikap hormat kepada sesama manusia, termasuk membuka proses dialog untuk mencari jalan damai atas konflik yang telah terjadi.

Mandagi sering mengingat kata-kata Martin Luther King Jr (1929-1968), seorang teolog dan aktivis kemanusiaan terkenal abad ke-20 berkebangsaan Amerika: “Lawan bisa diubah menjadi kawan hanya dengan kasih dan pengampunan”. Bagi Mandagi kedamaian itu bisa hadir kalau ada kasih sayang dan pengampunan.

Realitas Persoalan Papua

Papua, terlebih khusus wilayah Keuskupan Agung Merauke juga merupakan negeri yang berselimut masalah, terutama terjadi proses pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang diduga sengaja dilakukan (by commission) maupun sengaja dibiarkan (by ommision) oleh negara. Pelanggaran HAM yang terjadi sangat variatif, baik ekonomi, sosial, budaya, politik, termasuk kekerasaan militer.

Dan, tentu Uskup Mandagi telah mengetahui banyak fenomena sosial kemanusiaan orang Papua saat sebelumnya menjadi  Administrator Apostolik Keukupan Agung Merauke. Berbagai masalah itu antara lain, progam yang diusung pada tahun 2010, yakni pengembangan pangan dan energi yang dikelola secara terpadu di wilayah Merauke (MIFEE), pro dan kontra isu pemekaran Provinsi Papua Selatan, dan kekerasaan militer.

Untuk proyek MIFEE, pemerintah menggunakan dalih bahwa Program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan energi nasional. Hal tersebut  dipandang keliru atas terobosan yang dilakukan  pemerintah melalui proyek MIFEE yang diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar. Langkah pemerintah itu tidak membawa dampak yang signifikan bagi kehidupan masyarakat Merauke dan Papua secara umum.

Bahkan dinilai kehadiran MIFEE sebagai bentuk anomali terhadap realitas kehidupan masyarakat asli yang sudah diwariskan secara turun temurun hidup dengan mengonsumsi makanan lokal, seperti sagu. Format transformasi lahan  untuk beroperasinya perusahaan MIFEE berpotensi mengancam keberadaan hutan sagu yang merupakan makanan pokok masyarakat lokal, juga identitas budaya orang Papua.

Misalnya, penelitian antropolog Australia, Sophie Chao—yang menghabiskan waktu bertahun-tahun bersama Suku Marind Anim di Merauke—berhasil merekam dampak buruk perkebunan kelapa sawit bagi penduduk setempat. Menurut Sophie yang pada tahun 2019 mendapat penghargaan tesis doktoral terbaik dalam kajian Asia Australia dari Asian Studies Association of Australia bahwa dampak deforestasi dan perluasan kebun kelapa sawit di bawah program MIFEE tehadap masyarakat setempat.

Jelas, proyek MIFEE sangat tidak berbenefit bagi masyarakat Merauke, tapi sebaliknya membawa malapetaka bagi penduduk asli. Yang terjadi adalah kehancuran ekosistem: kehilangan tanah, hutan, dan hewan-hewan endemik serta hewan buruan yang menjadi potensi dan sumber jaminan masa depan mereka.

Selain proyek MIFEE, isu pemekaran Provinsi Selatan yang kian mengkristal di tengah-tengah masyarakat Papua, juga menjadi problematis. Diduga, ide pemekaran sejatinya adalah proyek politik Jakarta yang merupakan rekomendasi dari hasil analisis Badan Intelejen Negara (BIN). Tujuan pemerintah pusat menambah provinsi baru di Tanah Papua, terutama rencana pemekaran Provinsi Selatan adalah langkah untuk meminimalisir  berbagai gerakan separatisme di Tanah Papua.

Dan, bila dikomparasikan situasi Papua kini, tidaklah relevan kalau dipaksakan untuk pemekaran provinsi demi kepentingan negara dengan menggunakan isu populisme, seperti pemekaran dapat menjawab akselerasi pembangunan dan memutus mata rantai kemiskinan dan ketertinggalan masyarakat di selatan Papua. Padahal, aspirasi pemekaran harus bersifat buttom up (dari bawah ke atas), bukan top down (dari atas ke bawah). Jika ide pemakaran ini terus didorong (dipaksakan) oleh pemerintah pusat, maka sangat berbahaya bagi masa depan orang Papua, terutama bagi penduduk asli di Papua Selatan.

Karena pembangunan sumber daya manusia (SDM) di wilayah selatan Papua tidak jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di Tanah Papua yang belum begitu maju. Hingga terjadi pemekaran provinsi nanti hanya akan membuka lahan atau ekspansi bagi para migran baru dari luar Papua untuk berduyun-duyun datang ‘menguasai’ Tanah Papua dan penduduk asli akan teralienasi. Hal ini terbukti dalam bidang politik praktis, yang mana jumlah anak asli Papua yang berhasil duduk di kursi DPRD Kabupaten Merauke untuk periode 2019-2024  hanya lima orang dari total 30 kursi dan tiga di antaranya putra asli Marind.

Bahkan, pemekaran juga akan memberi legitimasi bagi negara untuk membuka Kodam dan Polda baru—dengan menambah pasukan TNI-Polri—yang makin masif. Para anggota TNI-Polri akan selalu mendukung apapun yang menjadi arah dan kebijakan negara, baik  perusahaan atau investor yang hendak masuk beroperasi di daerah tersebut. Jika masyarakat asli menyoal tentang hak-hak tanahnya yang dirampas oleh perusahaan, maka bisa saja oknum militer akan mengedepankan tindakan represif dan brutal: masyarakat akan ditindas, dipukul, atau dibunuh.

Sudah banyak kekerasaan yang dilakukan oleh oknum militer Indonesia terhadap masyarakat asli Papua, termasuk di wilayah Papua Selatan. Kekerasaan itu dimulai dari penganiyaan, penembakan, hingga pembunuhan yang kerapkali dilakukan oknum anggota Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia (TNI-Polri) di luar proses hukum.

Salah satu contoh dari sekian banyak tindak kekerasaan  terhadap warga sipil di selatan Papua adalah pemukulan yang diduga dilakukan oleh oknum polisi terhadap Marius Betera, seorang warga di perkebunan sawit di Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Papua, 16 Mei 2020. Beberapa jam setelah peristiwa tersebut, Marius meninggal”. (Kompas, 11 November 2020).

Kasus penganiayaan terhadap Marius Betera ini, termasuk sejumlah kasus HAM lain telah didampingi atau mendapat advokasi dari Uskup Mandagi semasa menjadi Administrator Keuskupan Agung Merauke. Dan, diharapkan agar kasus ini, termasuk semua kasus HAM lain terus menjadi perhatian serius Keuskupan Agung Merauke.

Selain Merauke, harapan penting juga agar kasus tertembak  mati Rufinus Tigau, seorang katekis Gereja Katolik Roma di Stasi Jalae, Paroki Michaelel Bilogai, Keuskupan Timika yang diduga dilakukan oleh tim gabungan TNI-Polri juga harus disuarakan. Sebelumnya, 7 Oktober 2020, diduga prajurit TNI menembak luka berat Agustinus Duwitau, seorang katekis dari Stasi Emondi, Keuskupan Timika.

Dua kasus ini butuh perhatian serius oleh hierarki Gereja Katolik, baik Uskup Keuskupan Agung Merauke bersama empat Uskup Keuskupan Sufragan di Tanah Papua, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), termasuk Vatikan harus bersikap kritis dan bersuara. Hierarki Gereja Katolik harus mendesak kepada Pemerintah Indonesia untuk segera bertnggungjawab secara hukum dengan mengadili pelaku penembakan. Langkah ini dilakukan demi perlindungan dan penghormatan terhadap para pelayan umat seperti katekis, pastor, maupun pendeta, sekaligus menjaga derajat gereja dari tindakan tak bermartabat oleh oknum prajurit TNI dan  Polri.

Orang Papua tentu optimistis terhadap ekistensi Mandagi sebagai Uskup Keuskupan Agung Merauke yang baru. Mereka yakin bahwa dengan sederet pengalaman dan rekam jejak (track record) yang cukup panjang dan luar biasa, Mandagi akan membawa angin segar bagi umat Katolik di KAME dalam bidang pewartaan dan juga pada dimensi kemanusiaan orang Papua secara umum. Sebab semasa Mandagi menjadi Administrator KAME umat Katolik dan masyarakat Papua secara umum telah mendengar pekikkan suara kenabian untuk kemanusiaan di Tanah Papua. Misalnya, Mandagi mengecam tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, 16 Agustus 2019, yang menurutnya sebagai pelanggaran HAM berat. Mandagi telah menjadi orang yang bersuara untuk kaum tak bersuara (voice of the voiceless).

Apalagi Ketua Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Perantau KWI (2003-2009) itu kini menjadi uskup definitif, tentu suaranya makin nyaring didengar di mana-mana, di seluruh pelosok negeri, bahkan didengar juga di jalan-jalan menuju Istana Gandolfo—tempat peristirahatan Sri Paus pada “musim panas”, di Vatikan, Roma—yang dirancang oleh Carlo Maderno (1556-1629), seorang arsitek berkebangsaan Italia di Abad Pertengahan.

Dan, tentu orang Papua akan merasa kehadiran Mandagi di tengah mereka seperti Maria mengunjungi Elisabet  saudaranya. Papua saat ini memang butuh orang-orang Samaria yang baik hati, dengan semangat dan prinsip cinta kasih yang besar, seperti yang pernah dilakukan oleh Mgr. Mandagi saat menjadi Uskup Amboina 26 tahun lalu.  Proficiat  untuk  Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC sebagai Uskup Agung Merauke. “Nil Nisi Christum, tidak ada apapun selain Kristus”.(*)

*) Penulis adalah Aktivis HAM Papua dan mantan Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas.

MOST READ

Artikel Terbaru

Artikel Lain